Selasa, 11 Mei 2010

mawar merah ~

Air menetes di pelupuk mataku.
Saat kau dan dia datang.
Membawa setangkai mawar yang indah tak terkira.

Aku mengambil setangkai darinya.
Airmataku seperti aliran sungai yang tak mampu kita henti.
Atau bagaikan laut yang ombaknya terus basahi jemari kaki kita.
Atau bagaikan hujan yang tak mampu kita hentikan.
Atau bagaikan kehendak Tuhan yang harus kita terima.

Bagaimana bisa dia berikan aku setangkai mawar penuh duri?
Aku tahu, kelopaknya memang indah.
Merah merona, merekah indah..
Tapi duri itu sudah terpatri di jemariku.
Dan aku melupakan indah kelopaknya.

Sedangkan kau?
Kau bawakan aku setangkai mawar tanpa duri.
Kelopaknya lebih indah, lebih merekah, dan semerbak harumnya.
Kau bungkus mawar itu dengan segenap cinta.

Dan airmataku menetes perih.
Ketika aku sadar, mengapa aku tak mampu membiarkanmu mengusap airmata di pipiku?
Mengapa?
Seakan lilin yang tetap mati walaupun tak ada angin di senja ini.
Seakan petir yang terus menyambar walaupun tak ada badai.
Seakan ...
Seakan tak ada alasan untuk menguatkan hatiku, bahwa hanya kau yang mampu memberiku setangkai mawar tanpa duri.
Seakan hanya aku yang tak mampu mengerti bahwa hanya kau yang memberi cinta tanpa syarat.

Bisakah kau kembali?
Esok hari, saat senja datang.
Dan buat aku percaya, bahwa itu kau.

(Ratri Aviyanti. May 11th, 2010)

Puisi ini gue buat untuk kedua 'pahlawan' gue yang rela 'membuka topeng'
Well, I love you both. But sorry I can't choose one of you :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar